KEAJAIBAN AIR ZAM-ZAM




KEISTIMEWAAN AIR ZAM-ZAM

Air Zam-Zam bukanlah air yang asing bagi kaum Muslimin. Air ini mempunyai keutamaan yang sangat banyak. Rasulullah telah menjelaskan kegunaan air tersebut. Beliau bersabda,"Sebaik-baik air yang ada di muka bumi adalah Zam-Zam. Di dalamnya terdapat makanan yang mengenyangkan dan penawar penyakit."[1] Apa rahasia dibalik air yang banyak memiliki khasiat dan penuh barakah ini?

MAKNA ZAM-ZAM
Kata Zam-Zam dalam bahasa Arab berarti, yang banyak atau melimpah [2]. Adapun air Zam-Zam yang dimaksud oleh syari'at, yaitu air yang berasal dari sumur Zam-Zam. Letaknya dengan Ka'bah, berjarak sekitar 38 hasta.

Dinamakan Zam-Zam, sesuai dengan artinya, karena memang air dari sumur tersebut sangat banyak dan berlimpah. Tidak habis walau sudah diambil dan dibawa setiap harinya ke seluruh penjuru dunia oleh kaum Muslimin.

Dinamakan dengan Zam-Zam, bisa juga diambil dari perbuatan Hajar. Ketika air Zam-Zam terpancar, ia segera mengumpulkan dan membendungnya. Atau diambil dari galian Malaikat Jibril dan perkataannya, ketika ia berkata kepada Hajar.

Disebutkan juga, bahwa nama Zam-Zam adalah 'alam, atau nama asal yang berdiri sendiri, bukan berasal dari kalimat atau kata lain. Atau juga diambil dari suara air Zam-Zam tersebut, karena zamzamatul ma` adalah, suara air itu sendiri.[3]

Nama lain Zam-Zam, sebagaimana telah diketahui, antara lain ia disebut barrah (kebaikan), madhmunah (yang berharga), taktumu (yang tersembunyi), hazmah Jibril (galian Jibril), syifa` suqim (obat penyakit), tha'amu tu'im (makanan), syarabul abrar (minuman orang-orang baik), thayyibah (yang baik) [4].

SEJARAH MUNCULNYA ZAM-ZAM
Disebutkan oleh Imam al Bukhari dalam Shahih-nya, dari hadits Ibnu 'Abbas. Suatu saat, ketika berada di Mekkah, Nabi Ibrahim menempatkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail di sekitar Ka`bah, di suatu pohon besar yang berada di atas sumur Zam-Zam. Waktu itu, tidak ada seorangpun di Mekkah, melainkan mereka bertiga. Setelah Nabi Ibrahim Alaihissalam meletakkan kantong berisi kurma dan air, iapun beranjak pergi. Namun Hajar mengikutinya seraya mengatakan,”Wahai Ibrahim, kemanakah engkau akan pergi dengan meninggalkan kami sendiri di tempat yang tiada manusia lain, atau yang lainnya?"

Pertanyaan itu ia ulangi terus, tetapi Nabi Ibrahim tidak menengok kepadanya. Sampai akhirnya Hajar berseru kepadanya,”Apakah Allah yang menyuruhmu melakukan hal ini?”

“Ya,” jawab Nabi Ibrahim.

"Kalau begitu, Allah tidak akan menyengsarakan kami,” seru Hajar. Kemudian kembalilah Hajar ke tempatnya, dan Nabi Ibrahim terus melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya di Tsaniyah -jalan bebukitan, arah jalan ke Kada`. Rasulullah ketika memasuki Mekkah juga melewati jalan tersebut- dan keluarganya tidak dapat melihatnya lagi, Nabi Ibrahim q menghadap ke arah Baitullah, lalu mengangkat kedua tangannya seraya berdoa : "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur" [Ibrahim/14 : 37]

Ibunda Ismail menyusui anaknya dan meminum dari kantong air tersebut. Hingga akhirnya air itupun habis, dan anaknya kehausan. Dia melihat anaknya dengan penuh cemas, karena terus menangis. Dia pun pergi untuk mencari sumber air, karena tidak tega melihat anaknya kehausan.

Pergilah dia menuju bukit terdekat, yaitu bukit Shafa, dan berdiri di atasnya. Pandangannya diarahkan ke lembah di sekelilingnya, barangkali ada orang disana. Akan tetapi, ternyata tidak ada.

Dia pun turun melewati lembah sampai ke bukit Marwa. Berdiri di atasnya dan memandang barangkali ada manusia di sana? Tetapi, ternyata tidak juga. Dia lakukan demikian itu hingga tujuh kali.

Ketika berada di atas bukit Marwa, dia mendengar ada suara, dia berkata kepada dirinya sendiri, "Diam!" Setelah diperhatikannya ternyata memang benar dia mendengar suara, kemudian dia pun berkata, "Aku telah mendengar, apakah di sana ada pertolongan?"

Tiba-tiba dia melihat Malaikat Jibril, yang mengais tanah dengan kakinya (atau dengan sayapnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain), kemudian memukulkan kakinya di atasnya. Maka keluarlah darinya pancaran air.

Hajar pun bergegas mengambil dan menampungnya. Diciduknya air itu dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam tempat air. Setelah diciduk, air tersebut justru semakin memancar. Dia pun minum air tersebut dan juga memberikan kepada putranya, Ismail. Lalu Malaikat Jibril berkata kepadanya, "Jangan takut terlantar. Sesungguhnya, di sinilah Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini (Ismail) bersama ayahnya. Dan sesungguhnya, Allah tidak akan menelantarkan hambanya."

Beberapa waktu kemudian, datanglah orang-orang dari kabilah Jurhum turun di lembah Makkah. Mereka turun karena melihat burung -burung yang berputar-putar. Mereka berkata,"Burung ini berputar-putar di sekitar air. Kami yakin di lembah ini ada air," lalu mereka mengirim utusan, dan ternyata benar mereka mendapatkan air. Utusan itupun kembali dan memberitahukan kepada orang-orang yang mengutusnya tentang adanya air. Merekapun kemudian mendatanginya, dan meminta izin dari Ummu Ismail, bahwa mereka akan mampir ke sana. Ummu Ismailpun mempersilahkan dengan syarat, bahwa mereka tidak berhak memiliki (sumber) air tersebut, dan kabilah Jurhum inipun setuju [6].

PENEMUAN KEMBALI AIR ZAM-ZAM
Ketika Abdul Muthalib sedang tidur di Hijr Ismail, dia mendengar suara yang menyuruhnya menggali tanah.

"Galilah thayyibah (yang baik)!"

"Yang baik yang mana?" tanyanya.

Esoknya, ketika tidur di tempat yang sama, dia mendengar lagi suara yang sama, menyuruhnya menggali barrah (yang baik)?"

Dia bertanya, "Benda yang baik yang mana?" Lalu dia pergi.

Keesokan harinya, ketika tidur di tempat yang sama di Hijr Ismail, dia mendengar lagi suara yang sama, menyuruhnya menggali madhmunah (sesuatu yang berharga).

Dia bertanya," Benda yang baik yang mana?"

Akhirnya pada hari yang keempat dikatakan kepadanya : "Galilah Zam-Zam!"

Dia bertanya,"Apa itu Zam-Zam?"

Dia mendapat jawaban : "Air yang tidak kering dan tidak meluap, yang dengannya engkau memberi minum para haji. Dia terletak di antara tahi binatang dan darah. Berada di patukan gagak yang hitam, berada di sarang semut".

Sesaat Abdul Muthalib bingung dengan tempatnya tersebut, sampai akhirnya ada kejelasan dengan melihat kejadian yang diisyaratkan kepadanya. Kemudian iapun bergegas menggalinya.

Orang-orang Quraisy bertanya kepadanya,"Apa yang engkau kerjakan, hai Abdul Muthalib?

Dia menjawab,"Aku diperintahkan menggali Zam-Zam," sampai akhirnya ia beserta anaknya, Harits mendapatkan apa yang diisyaratkan dalam mimpinya, menggali kembali sumur Zam-Zam yang telah lama dikubur dengan sengaja oleh suku Jurhum, tatkala mereka terusir dari kota Mekkah.[6]

KEUTAMAAN DAN KHASIAT AIR ZAM-ZAM
Dari penjelasan Rasulullah dan para ulama dapat diketahui, bahwa air Zam-Zam memiliki barakah dan keutamaan. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan air Zam-Zam dapat disebutkan sebagai berikut.

عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ (أخرجه أحمد وابن ماجه)

"Dari Jabir dan Ibnu 'Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Air Zam-Zam, tergantung niat orang yang meminumnya."[7]

Ibnu Taimiyyah berkata,”Seseorang disunnahkan untuk meminum air Zam-Zam sampai benar-benar kenyang, dan berdoa ketika meminumnya dengan doa-doa yang dikehendakinya. Tidak disunnahkan mandi dengannya (menggunakan air Zam-Zam)."[8]

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاءُ زَمْزَمَ لمِاَ شُرِبَ لَهُ إِنْ شَرِبْتَهُ تَسْتَشْفِي شَفاَكَ الله ُوَإِنْ شَرِبْتَهُ لِشَبْعِكَ أَشْبَعَكَ الله ُوَإِنْ شَرِبْتَهُ لِقَطْعِ ظَمْئِكَ قَطَعَهُ اللهُ وَهِيَ هَزْمَةُ جِبْرَائِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَسُقْيَا اللهِ إسْمَاعِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
رواه الدارقطني والحاكم وقال صحيح الإسناد

"Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Air Zam-Zam sesuai dengan niat ketika meminumnya. Bila engkau meminumnya untuk obat, semoga Allah menyembuhkanmu. Bila engkau meminumnya untuk menghilangkan dahaga, semoga Allah menghilangkannya. Air Zam-Zam adalah galian Jibril, dan curahan minum dari Allah kepada Ismail."[9]

وَعَنْ أَبِيْ الطُّفَيْلِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُوْلُ كُنَّا نُسَمِّيْهَا شَبَّاعَةً يَعْنِيْ زَمْزَمَ وَكُنَّا نَجِدُهَا نِعْمَ الْعَوْنُ عَلَى الْعِيَالِ (رواه الطبراني في الكبير)

"Dari Abi Thufail, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda,”Kami menyebut air Zam-Zam dengan syuba'ah (yang mengenyangkan). Dan kami juga mendapatkan, air Zam-Zam adalah sebaik-baik pertolongan (kebutuhan atas kemiskinanan)". [HR Tabrani] [10]

إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا بِسِجِلٍّ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ) رواه أحمد)

"Dari Usamah, bahwasanya Rasulullah meminta untuk didatangkan segantang air Zam-Zam, kemudian beliau meminumnya dan berwudhu dengannya" [HR Ahmad] [11]

كَانَ يَحْمِلُ مَاءَ زَمْزَمَ ( فِيْ الأَدَاوِيْ وَالْقِرَبِ وَكَانَ يَصُبُّ عَلىَ الْمَرْضَى وَيَسْقِيهِمْ ) ] . ( حديث صحيح)

"Disebutkan dalam Silsilah Shahihah, adalah Rasululllah membawa air Zam-Zam di dalam kantong-kantong air (yang terbuat dari kulit). Beliau menuangkan dan membasuhkannya kepada orang yang sedang sakit".

إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ رَكَضَ زَمْزَمَ بِعَقِبِهِ جَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تَجْمَعُ الْبَطْحَاءَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَحِمَ اللهُ هَاجِراً وَأُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا كاَنَتْ عَيْنًا مَعِيْنًا.
( صحيح )

Tatkala Jibril memukul Zam-Zam dengan tumit kakinya, Ummi Ismail segera mengumpulkan luapan air. Nabi berkata,"Semoga Allah merahmati Hajar dan Ummu Ismail. Andai ia membiarkannya, maka akan menjadi mata air yang menggenangi (seluruh permukaan tanah)."[12]

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قاَلَ قَالَ رَسُوْلُ الله - صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: "خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مَاءُ زَمْزَمَ، فِيْهِ طَعَامُ الطَّعْمِ، وَشِفَاءُ السَّقْمِ"،

"Dari Ibnu 'Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Sebaik-baik air yang terdapat di muka bumi adalah Zam-Zam. Di dalamnya terdapat makanan yang mengenyangkan dan penawar penyakit."[13]

Abu Dzar al Ghifari berkata,"Selama 30 hari, aku tidak mempunyai makanan kecuali air Zam-Zam. Aku menjadi gemuk dan lemak perutku menjadi sirna. Aku tidak mendapatkan dalam hatiku kelemahan lapar."[14]

: كُنْتُ أُجَالِسُ ابْنَ عَبَّاسٍ بِمَكَّةَ فَأَخَذَتْنِيْ الحْمُىَ فَقَالَ أَبْرِدْهَا عَنْكَ بِمَاءِ زَمْزَمَ فإَِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ( الْحُمَى مِنْ فيَحْ ِجَهَنَّمَ فَأَبْرِدُوهَا بِالْمَاءِ أَوْ قاَلَ بِمَاءِ زَمْزَمَ ) .

"Dari Hammam, dari Abi Jamrah ad-Duba`i, ia berkata : "Aku duduk bersama Ibnu 'Abbas di Mekkah, tatkala demam menyerangku. Ibnu 'Abbas mengatakan, dinginkanlah dengan air Zam-Zam, karena Rasulullah mengatakan, sesungguhnya demam adalah dari panas Neraka Jahannam, maka dinginkanlah dengan air atau air Zam-Zam" [15]

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّهَا كَانَتْ تَحْمِلُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ وَتُخْبِرُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يَحْمِلُهُ

Dari 'Aisyah, ia membawa air Zam-Zam. Ia mengkabarkan, sesungguhnya dahulu Rasulullah membawanya (sebagai bekal-Pen.).[16]

Ibnul Qayyim berkata,"Aku dan selain diriku telah megalami perkara yang ajaib tatkala berobat dengan air Zam-Zam. Dengan izin Allah, aku telah sembuh dari beberapa penyakit yang menimpaku. Aku juga menyaksikan seseorang yang telah menjadikan air Zam-Zam sebagai makanan selama beberapa hari, sekitar setengah bulan atau lebih. Ia tidak mendapatkan rasa lapar, ia melaksanakan thawaf sebagaimana manusia yang lain. Ia telah memberitahukan kepadaku bahwa, ia terkadang seperti itu selama empat puluh hari. Ia juga mempunyai kekuatan untuk berjima', berpuasa dan melaksanakan thawaf ".[17]

Beliau rahimahullah berkata,"Ketika berada di Mekkah, aku mengalami sakit dan tidak ada tabib dan obat (yang dapat menyembuhkannya). Akupun mengobatinya dengan meminum air Zam-Zam dan membacakan atasnya berulangkali (dengan al Fatihah), kemudian aku meminumnya. Aku mendapatkan kesembuhan yang sempurna. Akupun menjadikannya untuk bersandar ketika mengalami rasa sakit, aku benar-benar banyak mengambil manfaat darinya."[18]

Demikian penjelasan singkat tentang air Zam-Zam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita dan membenarkan khasiat dan keutamaan air yang tak pernah kering tersebut, meskipun setiap hari diambil oleh banyak manusia. Dengan mengetahui secara sepintas air Zam-Zam ini, maka hendaknya dapat meningkatkan dan memperkuat sandaran dan ketergantungan kita kepada Allah. Dia-lah yang Maha Penguasa mengatur segala yang Ia kehendaki.

Oleh :Ustadz Mu'tashim


Wallahu a'lam




Trailer " Emak Ingin Naik Haji"




"Emak Ingin Naik Haji" Sambut Idul Adha

dakwatuna.com – Setelah sebelumnya dunia film layar lebar Indonesia diwarnai film-film bernilai positif seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih (1 & 2), dll, kini menyusul “Emak Ingin Naik Haji”. Emak Ingin Naik Haji rencananya akan mulai ditayangkan pada 12 November tahun ini di Indonesia sekaligus menyambut Idul Adha yang jatuh pada akhir November. Film ini diangkat dari cerpen berjudul sama milik Asma Nadia yang pernah dimuat Majalah Noor.

Emak Ingin Naik Haji adalah film yang bercerita tentang impian Emak menunaikan ibadah haji dengan menabung sebagian hasil berjualan kue. Diceritakan pula cinta dan ketulusan sang anak Zein yang berusaha mewujudkan mimpi ibunya. Keinginan naik haji Emak semakin kontras dengan motivasi berbeda tokoh lain seperti Juragan Haji dan Pak Joko. Berhasilkah Emak menggenapkan kewajiban mengunjungi rumah Allah? Jawabannya dapat disaksikan pada film drama religi tersebut.

Film ini akan diperankan oleh Didi Petet, Ati Kanser (Emak), Reza Rahadian (Zein), Ustad Jeffri, Cut Memey, dan Nini El Karim, serta disutradarai oleh Aditya Gumay. Di internet sudah beredar trailer film yang diproduksi Mizan Productions dan Smaradhana Pro ini dalam berbagai durasi. (dari berbagai sumber/hdn)



Dan Berkurbanlah

dakwatuna.comSyariat berkurban merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena berkurban mulai diperintahkan saat Nabiyullah Adam ‘alaihis salam tidak menemukan cara yang adil dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan kurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berkurban dengan ternaknya –unta- dan Qabil berkurban dengan tanamannya –gandum-.
Sampai disini Allah swt sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang dengan suka-rela menerima perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil dengan ikhlas mempersembahkan kurbannya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan perintah berkurban, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.

Syariat berkurban dilanjutkan dengan Nabi-Nabi berikutnya.

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ (34)

“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34

Peristiwa berkurban paling fenomenal dibuktikan oleh Bapak Tauhid, Khalilullah, Ibrahim Alaihissalam. Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan Allah swt untuk menyembelih putra semata wayangnya, Isma’il alaihissalam. Ujian berat menyergapnya, antara melaksanakan perintah Allah swt atau membiarkan hidup putranya dengan tidak melaksanakan perintah Allah swt, toh putranya nanti akan melanjutkan perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Bisa menjadi pembelaan diri dan pembenaran pilihan.

Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.”

Rangkaian kisah hebat itu Allah swt rekam dalam Al-Qur’an,

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan kami panggillah dia: “Hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang Kemudian. (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” A(s-Shaffat:100-110)

Nikmat Allah

Syariat itu kembali diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, Nabiyullah Muhammad saw dan kita sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat pendek, surat Al-Kautsar: 1-3

“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”

Sebelum Allah swt memerintahkan berkurban, terlebih dulu Allah swt mengingatkan betapa nikmat pemberian Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga kautsar di surga.

Kalau kita mencoba merenung, nikmat Allah swt yang besar adalah nikmat diciptakanya kita sebagai manusia. Makhluk Allah swt yang paling mulya dan paling baik bentuknya, “ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tiin:4)

Nikmat menjadi peran khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)

Nikmat anggota badan yang begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat mahalnya kesehatan itu ketika satu mata dihargai ratusan juta. Makanya Allah swt kembali mengingatkan “Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (Adz-Dzariyat:21)

Dan yang paling besar anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri,

”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma’idah:3)

Hakekat Berkurban

Setelah Allah swt menyebut nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swt mengingatkan hamba-hamba-Nya agar mau melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat lima waktu atau shalat Idul Adha dan berkurban sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.

Bahkan Rasulullah saw memerintahkan berkurban dengan bahasa yang tegas dan lugas bahkan disertai ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat shalat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

“Dari Abu Hurairah ra., nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).

Berkurban tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan kurban, namun lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya.

Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya melaksanakan dengan baik tanpa ragug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim.

Berkurban adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berkurban.

Atau seperti Qabil yang menuruti logika otaknya dan kemauan syahwatnya, sehingga dengan perintah berkurban itu, ia malah melanggar perintah Allah swt dengan membunuh saudara kembarnya sendiri? Ia berusaha mensiasati perintah Allah swt dengan kemauannya sendiri yang menurutnya baik. Namun di situlah letak permasalahannya: ia tidak percaya perintah Allah swt.?

Berkurban juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan.

Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berkurban dengan ilmunya. Pengusaha ia berkurban dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berkurban demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berkurban untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.

Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt.

Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Biidznillah.

Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya,

”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)

Dan berkurbanlah. Kurban menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi beban dan keterpaksaan. Karena memang kurban tidak sekedar memotong hewan. Allahu A’lam.




8 Ibadah Di Bulan Dzulhijjah

dakwatuna.com Sekarang bulan Dzulhijjah. Jika bulan ini disebut, maka dalam pikiran kita spontan teringat pada dua hal: pertama, tiap minggu kondangan karena banyak yang menikah, dan kedua, nyate bareng sama tetangga sehabis motong kambing kurban. Padahal, bulan Dzulhijjah lebih dari itu. Secara khusus Rasulullah saw. menyebut keutamaan bulan ini, terutama untuk 10 hari pertama di awal bulan.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. bahwa Nabi saw. Bersabda, “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, tidak juga jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari)

Dari Umar r.a., bahwa Nabi saw. Bersabda, “Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad)

Karena itu, jika kita ingin menjadi orang yang dicintai Allah swt., jangan sia-siakan kesempatan ini untuk taqarrub kepada Allah swt. dengan banyak-banyak melakukan ibadah. Setidaknya ada delapan ibadah yang bisa kita lakukan, yaitu:

1. Melaksanakan ibadah haji dan umrah. Ini adalah amal yang paling utama di bulan Dzulhijjah. Tidak ada haji selain di bulan Dzulhijjah. Ganjaran bagi orang yang melaksanakan ibadah ini sangat besar di sisi Allah swt. Kata Nabi saw., “Dari umrah ke umrah adalah tebusan (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah surga.”

2. Berpuasa selama 10 hari di hari-hari pertama bulan Dzulhijjah, atau pada sebagiannya, atau paling tidak sehari di hari Arafah. Puasa juga amalan utama. Allah swt. memilih puasa sebagai amalan hambaNya untuk diriNya sehingga Dia sendiri yang menentukan pahalanya. Hal ini termaktub dalam sebuah hadist Qudsi. “Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan, dan minumannya semata-mata karena Aku.”

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun”. (Hadits muttafaq ‘alaih)

Dari Abu Qatadah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, “Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya”. (HR. Muslim)

3. Bertakbir dan berdzikir. Perbanyaklah takbir dan dzikir di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana yang diperintahkan Allah swt., “…. dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan….” [QS. Al-Hajj (20): 28]. Begitulah para ahli tafsir menafsirkannya frase “pada hari-hari yang ditentukan” dengan “sepuluh hari dari bulan Dzul Hijjah”. Karena itu, para ulama menganjurkan kepada kita untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut. Apalagi ada hadits dari Ibnu Umar r.a. yang menguatkan. Bunyinya, “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir, dan tahmid”. (HR. Ahmad)

Imam Bukhari menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orang pun mengikuti takbirnya.

Diriwayatkan bahwa para tabiin pada hari-hari itu mengucapkan, “Allahu akbar, allahu akbar, laa ilaha ilallah, walllahu akbar, allahu akbar wa lillahil hamdu.” Artinya, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada ilah (sembahan) selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah.”

Dianjurkan mengeraskan suara saat bertakbir baik ketika di masjid, rumah, pasar, atau di jalan. Allah berfirman, “Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu …”. [QS. Al-Baqarah (2): 185]

Perbanyak taubat dan meninggalkan segala bentuk maksiat dan dosa. Maksiat adalah penyebab jauhnya hamba dari Allah swt. Sedangkan ketaatan adalah pintu mendapat cinta dan kasih sayang Allah swt. Dan Allah swt. lebih cinta kepada seorang hamba melebihi cinta sang hamba kepada Allah swt. Bahkan, Allah swt. cemburu jika hambanya berbuat maksiat. Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi swt. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang hamba melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” (Hadits muttafaq ‘alaihi)

4. Perbanyaklah amal shalih. Bukan hanya amal-amal yang fardhu saja. Sebab, Allah swt. suka dan mencintai seorang hamba yang mendekatkan diri kepadanya dengan melakukan nawafil, amalan sunah. Kita bisa memperbanyak shalat sunnah, bersedekah, berjihad, membaca Al-Qur’an, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kita sangat berharap semua amalan itu bisa mendatangkan banyak pahala. Tapi, kita lebih berharap lagi mendapat cintai dan ridha Allah swt.

5. Disyariatkan pula kita melakukan takbir muthlaq –yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied– dan takbir muqayyad –yaitu takbir yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama’ah. Bagi kita yanga sedang tidak berhaji, takbir dimulai dari sejak Zhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada hari Tasyriq.

6. Berkurban. Bisa kita lakukan pada Hari Raya Qurban dan Hari-hari Tasyriq. Ibadah ini adalah sunnah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad saw. mengukuhkannya menjadi syariat bagi kita. Sabda Nabi, “Berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu”. (Hadits muttafaq ‘alaihi).

7. Dilarang mencabut atau memotong rambut dan kuku bagi orang yang hendak berkurban. Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya, dari Ummu Salamah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Jika kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.” Dalam riwayat lain, “Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban.”

Hal ini untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang menuntun hewan kurbannya. Firman Allah, “Dan jangan kamu mencukur (rambut) kepalamu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihan.” [QS. Al-Baqarah (2): 196]. Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk istri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban.

8. Melaksanakan shalat Iedul Adha dan mendengarkan khutbahnya. Bahkan, anak-anak dan wanita-wanita yang sedang haidh pun diperintahkan Nabi saw. untuk hadir bersama jama’ah shalat ied di tanah lapang untuk mendengarkan khutbah.

Idul Adha dan Ibadah Qurban

dakwatuna.com – Kata Idul Adha artinya kembali kepada semangat berkurban. Berbeda dengan Idul Fitri yang artinya kembali kepada fitrah. Bila Idul Fitri berkaitan dengan ibadah Ramadhan, di mana setiap hamba Allah selama Ramadhan benar-benar disucikan sehingga mencapai titik fitrah yang suci, tetapi dalam Idul Adha tidak demikian. Idul Adha lebih berupa kesadaran sejarah akan kehambaan yang dicapai nabi Ibrahim dan nabi Ismail alaihimus salam. Karenanya di hari tersebut ibadah yang paling utama adalah menyembelih kurban sebagai bantuan terhadap orang-orang miskin.

Dalam surah Ash Shaffat 100-111, Allah swt. menggambarkan kejujuran nabi Ibrahim dalam melaksanakan ibadah kurban. Indikatornya dua hal:

Pertama, al istijabah al fauriyah yakni kesigapannya dalam melaksanakan perintah Allah sampai pun harus menyembelih putra kesayangannya.

Ini nampak ketika nabi Ibrahim langsung menemui putranya Ismail begitu mendapatkan perintah untuk menyembelihnya. Di saat yang sama ia langsung menawarkan perintah tersebut kepadanya. Allah berfirman:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”

Dan ternyata al istijabah al fauriyah ini nampak juga pada diri Ismail ketika menjawab:

“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”

Kedua, shidqul istislam yakni kejujuran dalam melaksanakan perintah.

Allah berfirman: “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya).”

Inilah pemandangan yang sangat menegangkan. Bayangkan seorang ayah dengan jujur sedang siap-siap melakukan penyembelihan. Tanpa sedikitpun ragu. Kata aslamaa yang artinya keduanya berserah diri menunjukkan makna bahwa penyerahan diri tersebut tidak hanya terjadi sepihak, melainkan kedua belah pihak baik dari Ibrahim maupun Ismail. Di sanalah hakikat kehambaan benar-benar nampak. Bahwa sang hamba tidak ada pilihan kecuali patuh secara tulus kepada Tuhannya. Suatu teladan kehambaan yang harus ditiru setiap orang beriman yang berjuang menuju derajat kehambaan. Karenanya pada ayat 100 seteleh itu, Allah menegaskan bahwa keduanya benar-benar hamba-Nya, Allah berfirman: “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”

Dari sini nampak bahwa untuk mencapai derajat kehambaan sejati, tidak ada lain kecuali dengan membuktikan al istijabah al fauriyyah dan shidqul istislam. Nabi Ibrahim dan nabi Ismail telah membuktikan kedua hal tersebut. Allah swt. yang Maha Mengetahui telah merekamnya. Bila Allah yang mendeklarasikannya maka itu persaksian yang paling akurat. Tidak perlu diperbincangkan lagi. Bahkan Allah swt. mengabadikannya dengan menjadikan hari raya Idul Adha. Supaya semua hamba Allah setiap tahun selalu bercermin kepada nabi Ibrahim dan nabi Ismail.

Dengan demikian, esensi Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan kurban, melainkan lebih dari itu, membangun semangat kehambaan nabi Ibrahim dan nabi Islamil dalam kehidupan sehari-hari.

Yang perlu dikritisi dalam hal ini, adalah bahwa banyak orang Islam masih mengambil sisi ritualnya saja, sementara esensi kehambaanya dilupakan. Sehingga setiap tahun umat Islam merayakan Idul Adha, tetapi prilaku kesehariannya menginjak-injak ajaran Allah swt. Apa-apa yang Allah haramkan dengan mudah dilanggar. Dan apa-apa yang Allah perintahkan diabaikan. Bukankah Allah berfirman udkhuluu fissilmi kaafaah? Tapi di manakah makna kaffah itu dalam dataran kehidupan umat Islam? Karena itu, setiap kita memasuki hari raya Idul Adha, yang pertama kali harus kita gelar adalah semangat kehambaan yang kaffah kepada Allah. Bukan kehambaan sepenggal-sepenggal, atau kehambaan musiman.

Berapa banyak orang Islam yang rajin mentaati Allah di bulan Ramadhan saja, sementara di luar Ramadhan tidak demikian.

Berapa banyak orang Islam yang rajin ke masjid selama di Makkah saja, sementara setelah kembali ke negerinya, mereka kembali berani berbuat dosa tanpa merasa takut sedikitpun. Wallahu a’lam bishshawab.


Kala Subuh Kita Lebih Awal

Jika kita perhatikan sekarang ini, waktu shalat Shubuh kita di beberapa bagian—terutama di bagian Barat Indonesia, jatuh sekitar jam 04.00 pagi. Ini mungkin baru terjadi dalam kurun waktu yang lama sekali. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, kita melaksanakan Shalat Shubuh pada jam 05.00 kurang atau paling tidak, pukul 04.30 pagi. Mengapa?

Ibrahim bin Adham mengatakan bahwa jika ingin melihat kebangkitan Islam, maka lihatlah Shalat Shubuh di masjid-masjid. Maksudnya, Islam akan kembali bangkit dan menemukan zaman keemasannya jika jamaah Shalat Shubuh di masjid sama banyaknya dengan jamaah shalat Jumat.

Kita sudah tahu bahwa dalam shalat Jumat, berlepas dari banyak juga yang tidak melakukannya, tetapi masjid-masjid jamie selalu penuh. Orang-orang menghentikan sejenak aktivitasnya. Di waktu shalat-shalat lainnya, masjid kembali ke “habitat”-nya semula: sepi dan hanya paling tidak, di sebagian besar masjid, hanya mempunyai jamaah tiga atau empat shaff. Itupun ketika Maghrib dan Isya saja. Shalat

Shubuh yang paling mengenaskan. Seringkali, muadzin melakukan semuanya sendirian: beradzan, qomat, menjadi imam dan juga jamaahnya, alias tak ada jamaahnya. Paling bagus, shalat Shubuh diikuti oleh satu baris yang terdiri dari orang-orang tua saja.

Dengan bergesernya waktu shalat Shubuh yang lebih awal, bisa ditebak, shalat Shubuh di masjid menjadi makin sepi. Jumlah jamaah yang tadinya sudah sedikit semakin surut saja. Dan jangan terlalu banyak berharap melihat anak-anak muda di barisan jamaah shalat Shubuh. Memang kadang-kadang aja juga, namun yang kadang-kadang itupun jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari satu tangan saja.

Sebaliknya anak-anak muda kita sekarang ini, jika kebetulan pas hari libur, mereka sering kali masih bisa kita temui di pinggir jalan sampai larut malam. Mereka berkumpul dan begadang, menghabiskan malam bersama-sama, dan kemudian pergi tidur justru ketika Shubuh akan segera jatuh.

Sebagian besar bencana besar sering kali terjadi pada waktu setelah Shubuh yang tenang. Misalnya saja Tsunami Aceh dan tragedi Situ Gintung belakangan ini.

Semoga, kita menjadi orang-orang yang senantiasa menjalankan shalat Shubuh berjamaah di masjid.
Sumber:eramuslim.com

Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz kepada para jama’ah haji baitullah al-haram, semoga Allah berkenan menganugerahiku dan para jama’ah haji sekalian berupa petunjuk kepada kesalihan dalam bertutur kata dan berperilaku, serta berkenan untuk melindungi kita semua dari segala penyimpangan kesesatan dan bujuk rayu setan. Amin …
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wa Barakatuh, wa ba’du :
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada seluruh hamba-hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan, serta mengharamkan bentuk tolong menolong di dalam berbuat dosa dan permusuhan. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
﴿ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴾ [المائدة:2].
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS.05:02)
Dan diantara bentuk implementasi dari at-ta’awun (tolong menolong) dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan adalah saling menasehati dan berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴾ [العصر].
001. Demi masa. 002. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,003. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS.103:1-3).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan di dalam surat yang agung ini bahwa golongan manusia berada dalam kerugian. Ia Subhanahu wa Ta’ala bersumpah atas hal itu (padahal kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah al-Haqq (Yang Maha Benar) meskipun tanpa Dia Subhanahu wa Ta’ala harus bersumpah sekalipun) sebagai penegasan dan motivasi agar menyifati diri dengan 4 (empat) sifat sebagai faktor penyebab kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
{ الدين النصيحة، الدين النصيحة } قالوا: لمن يا رسول الله؟ قال: { لله، ولكتابه، ولرسوله، ولأئمة المسلمين وعامتهم }
“Agama adalah nasehat, agama adalah nasehat. Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Kepada siapa Wahai Rasulullah?’. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Kepada Allah, dan kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya’.”
Dalam Ash-Shahihain dari Jarir bin Abdullah al-Bajali menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaiat kami untuk menegakkan shalat, membayar zakat dan nasehat kepada setiap muslim.”
Masih dalam Ash-Shahihain juga, dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
{ لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه }
‘Tidak (sempurna) iman seorang dari kalian hingga ia (dapat) mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri’.”
Dari ayat-ayat yang agung dan hadist-hadits yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan akan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, baik sebagai haji maupun selainnya untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan untuk saling menasehati diantara mereka, tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan dimana pun mereka berada. Setiap orang muslim (mestinya) menyenangi kebaikan dan membenci kejahatan untuk saudaranya, memerintahkannya kepada kebajikan dan mencegahnya dari kemungkaran dengan cara yang hikmah dan pelajaran yang baik, berdebat dengan cara yang paling baik di saat hal itu diperlukan, tidak diragukan lagi bahwa kesemua ini merupakan bagian dari tujuan dan manfaat dari pelaksanaan haji yang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sitir dalam firman-Nya :
﴿ لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ ﴾ [الحج:28]
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka.” (QS.22:28)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lainnya :
﴿ ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴾ [النحل:125].
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS.16:125)
Dan kalian, wahai para rombongan haji Baitullah al-Haram! Kalian datang ke negeri yang aman ini untuk tujuan mulia dan dan amal shalih, yaitu untuk menunaikan manasik haji. Maka wajib atas kalian untuk beradab dengan adab syar’i dan berakhlaq dengan akhlaq yang ridhai untuk kalian. Aku berwasiat kepada kalian dengan hal yang demikian tadi, yang termuat di dalam ayat-ayat yang telah disinyalir sebelumnya dan yang disabdakan oleh lisannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam hadits-haditsnya yang telah disebutkan di atas. Firman Allah Azza wa Jalla :
﴿ الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ ﴾ [البقرة:197].
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS.2:197)
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
{ العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة } [متفق على صحته].
“Umrah ke umrah (berikutnya) sebagai pelebur (dosa) yang terjadi di antara keduanya, dan bagi haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Sedang haji mabrur itu adalah haji yang dalam pelaksanaannya tidak terdapat rafats (kata-kata jorok yang mengundang nafsu birahi) dan perbuatan fasiq (maksiat), sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
{ من حج ولم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه }.
“Barangsiapa yang berhaji dan tidak melakukan rafats dan tidak berbuat fasiq, maka dia kembali (bersih) dari dosa-dosanya sebagaimana hari ia dilahirkan oleh ibunya.”
Sedang ar-rafats itu adalah bersetubuh sebelum tahallul dari ihram, dan (termasuk) segala perkataan birahi yang sehubungan dengan wanita. Adapun al-fusuq adalah kemaksiatan, termasuk dalam konteks ini adalah semua bentuk kemaksiatan, termasuk kezaliman, penghinaan, mencederai kaum muslimin tanpa alasan yang benar, mengolok-olok, dusta, menggunjing, mengadu domba, durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan tali silaturahmi, memakan uang riba. Menzalimi orang dengan menumpahkan darah, menistakan kehormatan dan merampas hartanya, serta melakukan segala hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Juga termasuk dalam konteks al-fusuq adalah mencederai kaum muslimin dengan ucapan dan sikapnya di tempat-tempat ibadah haji dan di jalan-jalan, saat thawaf dan sa’i, ketika melontar jumrah, dan di segala tempat lainnya. Demikian pula termasuk di dalam konteks tersebut adalah berdemonstrasi, berteriak-teriak dalam mendoakan suatu komunitas dan mendoakan orang lain, sehingga membuat musim haji sebagai tempat yang rusuh, perselisihan dan demonstasi, serta mengeluarkan dari segala yang telah disyariatkan oleh Allah di dalam pelaksanaan haji seperi dalam menegakkan zikrullah, dakwah kepada jalan-Nya, saling menasehati sesama kaum muslimin, tolong menolong dalam mengerjakan kebajikan dan ketakwaan, serta menjalankan manasik haji dengan penuh keikhlasan, kenyamanan, ketenangan, dan segala hal yang disenangi di sisi Allah Ta’ala, serta terhindar dari siksa-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam al-Qur`an al-‘Azhim :
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ وَلاَ نِسَاء مِّن نِّسَاء عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإِيمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴾[الحجرات:11].
“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS.49:11)
Di dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang orang-oang mukmin laki-laki dan wanita dari 3 (tiga) perkara, yaitu (1) as-sukhriyah yaitu mengolok-olok, (2) al-lamzu yaitu saling mencela, (3) at-tanabuz bil alqab yaitu saling panggil dengan gelar-gelar yang tidak disukai dan (orangnya) tidak rela jika dipanggil dengan sebutan tersebut, seperti jika dipanggil, “Hai orang durhaka (si fajir)”, “Hai orang yang buruk (si khabits)”, “Hai musuh Allah ( si ‘aduwallah).” Tidaklah kesemuanya itu melainkan jika digunakan ketiga hal perkara ini diantara kaum muslimin dapat menimbulkan kedengkian, permusuhan dan memicu kerusuhan, serta yang demikian itu berakibat tidak terpuji. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri ayat dengan menetapkan hukum wajibnya bertaubat dari segala bentuk kemaksiatan dan bahwa sikap mereka yang terus menerus atas perbuatan tersebut merupakan suatu bentuk kezaliman yang berakibat tidak terpuji. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda di dalam khutbahnya di hari Kurban saat Haji Wada’ :
{ إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا، في بلدكم هذا، في شهركم هذا، ألا هل بلغت }
“Sesungguhnya telah diharamkan atas kalian darah, harta dan kehormatan kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini, ketahuilah bukankah telah aku sampaikan (pernyataan ini)?”.
Dan telah diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ia bersabda :
{ من ضار مسلماً ضاره الله، ومن شقَّ على مسلم شقَّ الله عليه }
“Barangsiapa yang menyusahkan seorang muslim, niscaya Allah akan menyusahkannya. Dan barangsiapa yang menghimpit seorang muslim maka kelak Allah akan menghimpitnya.”
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang memotivasi para haji dan selain mereka untuk berpegang teguh dengan agama mereka, istiqomah di jalannya, dan komitmen terhadap al-Qur`an al-Karim serta berhukum dan berloyalitas kepadanya disertai Sunnah Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saling belas kasih dan bersikap lembut di antara mereka, dan bentuk-bentuk berbuat ihsan yang dapat diimplementasikan diantara mereka masih sangat banyak lagi.
Maka wahai jama’ah haji baitullah al-haram bertakwa, ta’ati, dan agungkanlah perintah-Nya dan jangan kalian mendurhakai-Nya, berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan janganlah kalian saling bercerai berai, bersungguh-sungguhlah dalam melaksanakan manasik haji sesuai yang telah disyariatkan oleh Allah, berlomba-lombalah kepada ketaatan dan amal-amal shalih, perbanyaklah shalat di masjil haram dan thawaf, kerjakan apa yang dimudahkan bagimu dari tilawah al-Qur`an, tasbih, tahlil, tahmid, takbir, doa, istighfar, shalawat atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dalamilah ilmu agama kalian, ambillah manfaat dari halaqah-halaqah ilmu di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, bertanyalah kepada ahlul ilmi (ulama) mengenai segala hal yang masih menjadi masalah bagi kalian, maka sungguh telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :
{ من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين }
“Barangsiapa yang hendak Allah limpahkan kebaikan yang banyak, niscaya Allah jadikan ia sebagai seorang yang faqih (berpengetahuan) dalam masalah agama.”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :
{ من سلك طريقاُ يلتمس فيه علماُ سلك الله به طريقاُ إلى الجنة، وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة، وغشيتهم الرحمة، وحفتهم الملائكة، وذكرهم الله فيمن عنده }
“Barangsiapa yang menempuh perjalanan dalam rangka menuntut ilmu niscaya Allah mudahkan baginya jalan menuju surga . Dan tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah Allah (masjid), mereka membaca al-Qur`an dan saling mempelajarinya, melainkan Allah (akan) menurunkan ketenangan kepada mereka, meliputi mereka dengan rahmat-Nya, mereka dikelilingi oleh para Malaikat dan Allah menyebut (membanggakan nama-nama) mereka dihadapan para Malaikat.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :
{ اقرأوا القرآن فإنه يأتي شفيعاً لأصحابه يوم القيامة }
“Bacalah al-Qur`an, maka sesungguhnya ia akan datang sebagai syafa’at bagi para pembacanya pada hari kiamat kelak”
Yaitu mereka yang mengamalkan al-Qur`an dan istiqomah terhadap pengajarannya.
Dan setiap orang dari kalian hendaknya membimbing saudaranya dengan ilmu yang dimilikinya, dan mengarahkannya kepada kebaikan, menolongnya dalam mengimplementasikan ayat-ayat dan hadits-hadits yang telah dipaparkan di muka, dan berilah kabar gembira tentang ganjaran yang melimpah dan pahala yang besar, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
{ من دل على خير فله مثل أجر فاعـله }
“Barangsiapa yang menunjukkan (orang lain) kepada kebaikan, maka baginya (pahala) seperti pahala orang yang melakukannya.”
Telah diriwayatkan pula dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda kepada Ali Radhiyallahu ‘Anhu saat beliau mengutusnya kepada Kaum Yahudi di wilayah Khaibar :
{ ادعهم إلى الإسلام، وأخبرهم بما يجب عليهم من الحق فيه، فو الله لأن يهدي الله بك رجلاً واحداً خير لك من حُمُر النَّعَم }
“Ajaklah mereka kepada Islam, dan kabarkan kepada mereka dengan hal yang diwajibkan atas mereka dari kebenaran yang terdapat di dalam agama Islam. Maka Demi Allah, kalaulah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan hidayah kepada seseorang perantaramu, (maka itu) lebih baik bagimu daripada onta merah .”
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
{ والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه }
“Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.”
Hanya kepada Allahlah, kita bermohon agar berkenan mengaruniakan taufik-Nya kepada kita dan kalian semua kepada segala hal yang diridhai-Nya, dan memudahkan jalan bagi kita dan kalian sekalian kepada jalan-Nya yang lurus, dan menolong kalian dalam melaksanakan manasik haji dalam bentuk yang diridhai-Nya, dan semoga Dia berkenan menerima (amal shalih) kita dan kalian semua, dan mengembalikan kalian ke negeri-negeri kalian dengan selamat dan memperoleh keberuntungan yang besar. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Dermawan lagi Maha Pemurah.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada hamba dan utusan-Nya, nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabat serta pengikutnya yang benar-benar loyal kepadanya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.








Ciri-Ciri Datangnya Malam Lailatul Qodar

Sebagaimana kita ketahui Allah menurunkan Al Quran dalam bulan Ramadan dan malam turunnya Al Quran itu adalah malam qadar, malam yang penuh keberkatan sebagaimana disampaikan oleh Allah dalam firmannya:
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Quran pada malam Al Qadar dan tahukah kamu apa yang dimaksud dengan malam kemuliaan (Al Qadar) itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahterahlah (malam itu) sampai terbit fajar. " (QS.Al Qadr ayat 1-5)

Juga diriwayatkan oleh HR Bukhari dari Aisyah, Rasulullah bersabda:

“Carilah dengan hati-hati sekali malam Al Qadar itu di malam-malam yang ganjil dari puluhan yang akhir dari Ramadan.”

Dari firman Allah dan hadis tersebut di atas kita mengetahui bahwa malam Lailatul Qadar terjadi dalam bulan Ramadan pada malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Karena tidak ada seorang manusiapun yang mengetahui kapan malam yang nilainya sama dengan seribu bulan itu akan datang, terlebih lagi di negeri kita sering terjadi perbedaan penetapan awal Ramadan yang menyebabkan perbedaan jatuhnya hari-hari ganjil pada sepuluh hari terakhir.

Maka sebaiknya di setiap malam sepuluh hari terakhir itu kita selalu mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya malam Lailatul Qadar dengan memperbanyak ibadah, yaitu memperbanyak salat, istighfar, tahlil, tahmid dan ibadah-ibadah lainnya.

Banyak pertanyaan apakah ciri-ciri datangnya malam Lailatul Qadar itu? Tentang ciri-ciri malam Lailatul Qadar banyak ulama yang bebeda pendapat, tetapi berikut ini adalah ciri-ciri datangnya malam Lailatul Qadar yang sering diceramahkan ataupun dituliskan oleh para ulama:

Pertama, orang yang mendapatkan Lailatul Qadar (keberuntungan pahala dari sisi Allah) pada malam itu akan melihat seluruh benda dan makhluk di muka bumi ini bersujud kepada Allah.

Kedua, orang yang mendapatkan Lailatul Qadar (keberuntungan pahala dari sisi Allah) akan melihat semuanya terang benderang walaupun suasananya di tengah malam.

Ketiga, orang yang mendapatkan Lailatul Qadar (keberuntungan pahala dari sisi Allah) itu mendengar salam malaikat dan tutur katanya.

Keempat, orang yang mendapatkan Lailatul Qadar (keberuntungan pahala dari sisi Allah) itu dikabulkan segala doanya.

Dan kelima, orang yang mendapatkan Lailatul Qadar (keberuntungan pahala dari sisi Allah) itu tidak disyaratkan melihat tanda apa-apa.

Karena bulan Ramadan adalah bulan yang utama, bulan yang penuh berkat sebagaimana telah dijanjikan Allah, kiranya akan lebih baik kita memperbanyak ibadah terlebih lagi di sepuluh hari terakhir Ramadan dengan tidak usah mengingat ciri-ciri malam Lailatul Qadar.

(Ditulis berdasarkan referensi Al Qur’an, Buku Pedoman Puasa, Prof. DR. T.M Hasbi Ash Shiddieqy dan Buku Puasa Ramadan, DR. H. Ridjaluddin F.N; M.Ag).

I'tikaf (Berkontemplasi Diri)

Pada akhir bulan Ramadan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali beritikaf pada 10 (hari) terakhir di bulan Ramadan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. [HR Bukhari & Muslim dari Aisyah]
1.Hikmahnya
Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata : “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta’ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya.

Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyariatkannya (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.

Dan disyariatkannya i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu” [Zaadul Ma'ad 2/86-87]

2. Makna I’tikaf

Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘Akif. [Al-Mishbahul Munir 3/424 oleh Al-Fayumi, dan Lisanul Arab 9/252 oleh Ibnu Mandhur]

3. Disyari’atkannya I’tikaf

Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan Syawwal[1] Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram’. Beliau menjawab:Tunaikanlah nadzarmu”. Maka ia (Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun beritikaf pada malam harinya. [Riwayat Bukhari 4/237 dan Muslim 1656]

Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. [Riwayat Bukhari 4/245]

Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. [Riwayat Bukhari 4/266 dan Muslim 1173 dari Aisyah]

4. Syarat-Syarat I’tikaf

[a] Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu[2] sedangkan kamu beritikaf di dalam masjid” [Al-Baqarah : 187]

[b] Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulia (yaitu) sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid (saja)”. [3](Abu Zalfa: Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat, silahkan melihat disini ulama yang memperbolehkan I’tikap selain di tiga masjid tersebut)

Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan. [4]

5. Perkara-Perkara Yang Boleh Dilakukan

[a] Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan
disisir (rambutnya). Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.

“Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain : aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau (ada) sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid) dan adalah Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf” [5]

[b] Orang yang sedang Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan” [Dikeluarkan oleh Ahmad 5/364 dengan sanad yang shahih]

[c] Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena Aisyah Radhiyallahu ‘anha (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf[6] dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Sebagaimana dalam Shahih Muslim 1173]

[d] Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika i’tikaf dihamparkan untuk kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At-Taubah.[7]

6. I’tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid

[a] Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i’tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu ‘anha berkata.

“Artinya : Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tatkala beliau sedang) i’tikaf [pada sepuluh (hari) terkahir di bulan Ramadhan] aku datang mengunjungi pada malam hari [ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata : jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri besamaku untuk mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda : “Tenanglah[8], ini adalah Shafiyah binti Huyaiy”, kemudian keduanya berkata : ‘Subhanahallah (Maha Suci Allah) ya Rasullullah”. Beliaupun bersabda : “Sesungguhnya syaitan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata sesuatu”[9]

[b] Seorang wanita boleh i’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu ‘anha : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau i’tikaf setelah itu”.[Telah lewat takhrijnya]

Berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah, -pent) :”Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita i’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah.

“Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”
Foote Note.

1. Riwayat Bukhari 4/226 dan Muslim 1173
2. Yakni “Janganlah kami mejimai mereka” pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zaadul Masir 1/193 oleh Ibnul Jauzi
3. Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan hal ini pada kitab yang berjudul Al-Inshaf fi Ahkamil I’tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid
4. Dikeluarkan oleh Abdur Razak di dalam Al-Mushannaf 8037 dan riwayat 8033 dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
5. Hadits Riwayat Bukhari 1/342 dan Muslim 297 dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no. 167 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah dan Jami’ul Ushul 1/3452 oleh Ibnu Asir
6. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari 4/226
7. Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 642-zawaidnya dan Al-Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bushiri dari dua jalan. Dan sanadnya Hasan
8. Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci.
9. Dikeluarkan oleh Bukhari 4/240 dan Muslim 2157 dan tambahan yang terkahir ada pada Abu Dawud 7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud

[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]

Sumber: almanhaj.or.id




Bahaya Kemiskinan

Dalam riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah SAW berpesan, "Kemiskinan, kebodohan, dan penyakit, merupakan musuh Islam. Ketiganya dapat menggoyah sendi kehidupan, menghancurkan ketentraman, menghalangi ukhuwah, serta meruntuhkan kemuliaan dan kejayaan bangsa."
Wasiat itu, maknanya dalam. Kemiskinan, tak hanya mengancam individual, tapi akan melibas kehidupan masyarakat. Baik memporak-porandakan segi akidah-iman, akhlak-moral, maupun merusak cara bersikap dan berpikir.

Islam sangat menentang kemiskinan. Namun Islam, menuntun umatnya agar bisa merasai makna miskin. Puasa Ramadan misalnya, mengingatkan agar tubuh ini bisa merasai 'nikmatnya' lapar. Jika makan sehari cukup dua kali, mengapa mulut ini tak pernah bisa berhenti mengunyah? Bila kita pantas berbusana yang terjangkau, mengapa harus memaksa mengenakan yang mewah? Artinya kalau Islam meneladani kesederhanaan, mengapa justru kita terus berlebihan?

Dalam keteladanan beragama kita, Khalifah Umar bin Abdul Azis adalah cermin hebat, bagaimana memperlakukan sebuah kekayaan dan kekuasaan. Menjadi pemimpin pada umur 35, Umar bin Abdul Azis, pemimpin muda yang yang mampu melalui godaan duniawi. Ia mengubah cara hidup seorang khalifah sebelumnya yang royal pada duniawi. Umar mengikat diri untuk tidak silau pada harta, singgasana, pakaian, dan minyak wangi. Sikap ini menurun hingga keluarga intinya.

Hidup keluarga Umar, sederhana. Anaknya menutup mulut, karena hanya makan bawang. Perhiasan istrinya diserahkan ke Baitul Mal. Pakaiannya dijemur sembari dikenakan, karena baju satunya robek. Dia tidak perlu pengawal, tak butuh dihormati dengan berdiri, dan selalu berwasiat pada para gubernur sebelum pergi bertugas. Padahal ia manusia yang kaya raya dalam harta.

Tuntunan agar bisa merasakan lapar dan kesederhanaan, ternyata menjadi kata kunci. Dengan lapar atau kekurangan, kita dipaksa menghayati kondisi serba sulit. Dalam posisi begitu, apapun yang diperbuat punya konsekuensi panjang. Seorang penguasa misalnya, tak akan gegabah menggelontorkan Rp 6,7 triliun hanya untuk seorang pemilik Bank Century. Sementara, rakyatnya masih banyak yang kelaparan.

Lihatlah, kuli bangunan, dari pagi hingga sore, ia peras peluh hanya untuk beberapa lembar ribuan. Jika sakit saja, habislah sumber nafkahnya hari itu. Jasa rentenir diterima, maka tamat riwayatnya. Inilah dampak kemiskinan, lingkaran setan yang terus membelit.

Kemiskinan, jelas berimbas ke masyarakat. Jika miskin karena langkanya sumber daya alam, keamanan masih relatif baik. Namun, bila dipicu oleh pendapatan tak merata dan pemimpin yang tidak adil, keamanan masyarakat telah dipertaruhkan. Berita kriminal yang banyak dilansir media, menjadi bukti bahwa penyebabnya banyak berakar pada masalah perut.

Dalam keseharian, berdirinya banyak rumah megah kerap menggusur lahan satu-satunya milik orang lain. Kompleks rumah ini, tampak demikian kontras berdiri di lingkungan miskin. Tanpa disadari, arogansinya menjadi lebih kental karena tidak pernah mengindahkan tetangga. Jalan kampung malah ditutup, agar warga yang lain tak leluasa hilir mudik. Tiba-tiba saja, tembok telah mengelilingi kompleks, memutus jalur transportasi, komunikasi, dan hubungan sosial.

Dalam kondisi begini, warga miskin mudah dipicu untuk tak mau tahu tentang negara. Sebab, selama ini mereka mengurus nasibnya sendiri. Saat lahan hidup mereka digusur, mereka menghadang maut tanpa pembelaan, seakan tidak ada negara. Pedagang kecil tungganglanggang diusir Satpol PP, penguasa juga membisu.

Kemuliaan dan kejayaan bangsa, seperti yang diingatkan Nabi Muhammad SAW, memang telah dirongrong kemiskinan. Lantas, masihkah kita menatap kemiskinan hanya sebagai dagangan politik semata? Selalu jadi primadona tatkala musim kampanye partai politik dan pemilihan presiden? Kemudian tercampak, tatkala kekuasaan itu telah digenggam. Wallahu’alam.

*) Sunaryo Adhiatmoko (Al Azhar Peduli Ummat)
Sumber :www.detik.com

Kekuatan Silaturahim

Silaturahmi adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya silaturahmi, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak ada artinya bila di dalamnya tidak ada persatuan dan kerja sama untuk taat kepada Allah....

Tahukah kalian tentang sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan ataupun keburukan? "Sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan adalah pahala orang yang berbuat kebaikan dan menghubungkan tali silaturahmi, sedangkan yang paling cepat mendatangkan keburukan ialah siksaan bagi orang yang berbuat jahat dan yang memutuskan tali persaudaraan" (HR. Ibnu
Majah). Silaturahmi tidak sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata dari silaturahmi itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang. Makna menyambungkan menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. Menghimpun biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Yang disebut bersilaturahmi itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahmi itu ialah menyambungkan apa yang telah putus" (HR. Bukhari).

Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang tinggi. Boleh jadi kita melakukannya karena merasa malu atau berhutang budi kepada orang tersebut. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahmi kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya walau harus menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, maka
inilah yang disebut silaturahmi. Apalagi kalau kita bersilaturahmi kepada orang yang membenci kita, seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya. Inilah silaturahmi yang sebenarnya.

Rasulullah SAW pernah memberikan nasihat kepada para sahabat, "Hendaklah kalian mengharapkan kemuliaan dari Allah". Para sahabat pun bertanya, "Apakah yang dimaksud itu, ya Rasulullah?" Beliau kemudian bersabda lagi, "Hendaklah kalian suka menghubungkan tali silaturahmi kepada orang yang telah memutuskannya, memberi sesuatu (hadiah) kepada orang yang tidak
pernah memberi sesuatu kepada kalian, dan hendaklah kalian bersabar (jangan lekas marah) kepada orang yang menganggap kalian bodoh" (HR. Hakim).

Dalam hadis lain dikisahkan pula, "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum?" tanya Rasulullah SAW kepada para sahabat. "Tentu saja," jawab mereka. Beliau kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyembungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah amal shalih yang besar pahalanya.
Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi" (HR. Bukhari Muslim).

Sahabat, bagaimana mungkin hidup kita akan tenang kalau di dalam hati masih tersimpan kebenciaan dan rasa permusuhan kepada sesama muslim. Perhatikan keluarga kita, kaum yang paling kecil di masyarakat. Bila di dalamnya ada beberapa orang saja yang sudah tidak saling tegur sapa, saling menjauhi, apalagi kalau di belakang sudah saling menohok, menggunjing, dan memfitnah,
maka rahmat Allah akan dijauhkan dari rumah tersebut. Dalam skala yang lebih luas, dalam lingkup sebuah negara, bila di dalamnya sudah ada kelompok yang saling jegal, saling fitnah, atau saling menjatuhkan, maka dikhawatirkan bahwa bangsa dan negara tersebut akan terputus dari rahmat dan pertolongan Allah SWT.

Silaturahmi adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya silaturahmi, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Bagaimana pun besarnya umat Islam secara kuantitatif, sama sekali tidak ada artinya bila di dalamnya tidak ada persatuan dan kerja sama untuk taat kepada Allah. Sebagai umat yang besar, kaum muslim memang diwajibkan ada yang terjun di bidang politik, ekonomi, hukum, dsb, karena tanpa itu kita akan dipermainkan dan kepentingan kita tidak ternaungi secara legal di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, berbagai kelompok yang ada harus dijadikan sarana berkompetisi untuk mencapai satu tujuan mulia, tidak saling menghancurkan dan berperang, bahkan lebih senang berkoalisi dengan pihak lain. Sebagai umat yang taat, kita berkewajiban untuk mendukung segala kegiatan yang menyatukan langkah berbagai kelompok kaum muslimin dan mempererat tali persaudaraan diantara kita semua. Wallahu 'alam...

(diambil dari tausiah Aa Gym, www.republika.co.id)


10 Pohon Ramadhan

dakwatuna.com - Ibarat sebuah tanaman, maka amaliyah Ramadhan adalah pohonnya. Mediumnya adalah bulan Ramadhan. Pohon apa yang kita tanam di medium Ramadhan, itulah yang akan kita petik, itulah yang akan kita nikmati. Karena “siapa menanam dia yang menuai”.
Pertanyaannya; Pohon apa saja yang perlu kita tanam di bulan suci ini?
Paling tidak ada 10 pohon Ramadhan yang mesti kita tanam di medium bulan Ramadhan ini:

Pohon pertama, shaum. Tidak sekedar menahan hal yang membatalkan shaum –makan, minum dan berhubungan biologis- dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari saja. Karena, kalau hanya sekedar menahan yang demikian, boleh jadi anak kecil, usia SD bisa melakukannya. Betapa anak-anak kita sudah belajar shaum semenjak dibangku sekolah bukan?

Nah, kalau demikian, apa bedanya shaumnya kita dengan mereka?

Harus ada nilai lebih, yaitu menjaga dari yang membatalkan nilai dan pahala shaum.

Apa yang membatalkan nilai shaum. Di antaranya bohong, ghibah, namimah, mengumpat, hasud dan penyakit hati lainnya. Dengan demikian, mata, telinga, lisan, tangan, kaki dan anggota badan kita ikut serta shaum.

“Betapa banyak orang yang shaum, tidak mendapatkan sesuatu kecuali hanya rasa lapar dan dahaga semata.” Begitu penegasan Rasulullah saw.

Pohon kedua, sahur. Sahur tidak pengganti sarapan pagi, bukan juga penambah makan malam. Namun sahur yang penuh berkah, yang dilakukan diakhir jelang waktu fajar. Di sinilah waktu-waktu yang sangat mahal, doa dikabulkan, permintaan dipenuhi. Sehingga ketika melaksanakan sahur tidak tidak sambil nonton hiburan, tayangan yang melenakan, oleh media elektronik. Sibukkan diri dan keluarga kita dengan mensyukuri nikmat Allah dengan bersama-sama melaksanakan sunnah sahur ini dengan penuh hikmat dan kekeluargaan.

“Sahurlah, karena dalam sahur itu ada keberkahan.” Begitu sabda Rasulullah saw. mengajarkan.

Pohon ketiga, ifthar. Buka puasa. Sunnah buka puasa itu disegerakan. Ketika dengar kumandang adzan Maghrib, segera lakukan buka puasa. Jangan tunda, jangan sok kuat, nanti bakda tarawih saja, bukan.

Dengan apa kita ifthar? Sunnahnya dengan ruthab atau kurma muda. Berapa biji? Bilangan ganjil satu atau tiga biji. Kalau tidak ada, seteguk air putih. Itu yang dilakukan Rasulullah saw. bukan dengan memakan aneka hidangan, ragam makanan, bukan. Dan Rasulullah saw. pun baru makan besar setelah shalat tarawih.

Ifthar bukan ajang balas dendam, seharian manahan lapar, ketika bedug Maghrib, seakan ingin melampiaskan rasa laparnya dengan memakan semua yang ada. Perilaku ini tentu tidak akan membawa dampak perubahan dalam kehidupan pelakunya. Justeru dengan berlapar-lapar sambil merenungkan hikmah shaum dan menjadi bukti kesyukuran adalah sebagian dari target berpuasa. Sehingga dengan sadar dan hikmat kita berdoa saat berbuka:

“Yaa Allah, kepada-Mu aku shaum, dengan rizki-Mu aku berbuka, telah hilang rasa haus-dahagaku, kerongkongan telah basah, karena itu tetapkan pahala bagiku, insya Allah.”

Pohon keempat, tarawih. Tarawih berasal dari akar kata “raaha-yaruuhu-raahatan-watarwiihatan- yang artinya rehat, istirahat, santai. Sehingga shalat tarawih adalah shalat yang dilaksanakan dengan thuma’ninah, santai, khusyu’ dan penuh penghayatan, bukan hanya sekedar mengejar target bilangan rekaatnya saja, mau delapan, dua puluh, empat puluh, silahkan dikerjakan, asal memperhatikan rukun, wajib, dan sunnah shalat.

Kalau kita disuruh memilih, apakah shalat tarawih di masjid yang dalamnya dibaca “idzaa jaa’a nashrullahi wal fathu” atau shalat tarawih di masjid yang baca “idzaa jaa’akal munaafiquna qaaluu nasyhadu innaka larasuuluh…” Pilih mana?

Kita tidak dalam posisi membandingkan surat yang dibaca, semua adalah surat dalam Al-Qur’an, namun kita ingin membandingkan sikap kita, apa kita pilih yang panjang-panjang namun khusyu’ atau pilih yang pendek-pendek namun secepat kilat.

Umat muslim harus berani mengevaluasi diri dalam hal pelaksanaan shalat tarawih ini. Sebab, sudah kesekian kali kita melaksanakan shalat tarawih dalam hidup kita, namun kita belum bisa meresapi, merenungkan dan mendapatkan manisnya shalat, bermunajat kepada Allah swt. secara langsung.

Bukankah Rasulullah saw. meneladankan kepada kita, bahwa beliau shalat tarawih, di reka’at pertama setelah beliau membaca surat Al-Fatihah, beliau membaca surat Al-Baqarah sampai selesai, para sahabat mengira beliau akan ruku’, namun beliau melanjutkan membaca surat An-Nisa’ sampai selesai, para sahabat kembali mengira beliau akan ruku’, namun kembali beliau membaca surat Ali-Imran sampai selesai, baru beliau ruku’. Sedangkan ruku’, i’tidal dan sujud beliau lamanya seperti beliau berdiri rekaat pertama. Subhanallah!

Tentu kita tidak sekuat Rasulullah saw. namun yang kita teladani dari beliau adalah pelaksanaannya, dengan cara yang thuma’ninah, khusyu’ dan penuh tadabbur.

Pohon kelima, tilawatul Qur’an. Membaca Al-Qur’an. Atau yang populer adalah tadarus Al-Qur’an. Tadarus tidak hanya dilakukan di bulan suci ini, juga dilakukan setiap hari di luar Ramadhan, namun pada bulan suci ini tadarus lebih dikuatkan, ditambahkan kuantitas dan kualitasnya. Setiap malam, Rasulullah saw. bergantian bertadarus dan mengkhatamkan Al-Qur’an dengan malaikat Jibril.

Imam Malik, ketika memasuki bulan suci Ramadhan meninggalkan semua aktivitas keilmuan atau memberi fatwa. Semua ia tinggalkan hanya untuk mengisi waktu Ramadhannya dengan tadarus.

Imam Asy-Syafi’i, si-empunya madzhab yang diikuti di negeri ini, ketika masuk bulan Ramadhan ia mengkhatamkan Al-Qur’an sehari dua kali, sehingga beliau khatam Al-Qur’an 60 kali selama sebulan penuh. Subhanallah!

Kita tidak perlu mendebat, apakah itu mungkin? Bagaimana caranya beliau bisa melakukan hal itu? Esensi yang jauh lebih penting adalah, semangat dan mujahadah yang kuat itulah yang mesti kita miliki dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Pohon keenam, ith’aamul ifthor. Memberi berbuka puasa. Jangan diremehkan memberi berbuka puasa kepada orang yang berpuasa, baik langsung maupun lewat masjid. Walau hanya satu butir kurma, satu teguk air, makanan, minuman dan lainnya. Sebab, nilai dan pahalanya sama seperti orang yang berpuasa yang kita kasih berbuka itu. Di negara-negara Timur-Tengah, tradisi dan sunnah memberi buka puasa ini sangat kental. Hampir-hampir setiap rumah membuka pintu selebar-lebarnya bagi para kerabat, musafir, tetangga, sahabat, untuk berbuka bersama dengan mereka.

Kita jadikan memberi buka bersama ini sebagai sarana menebar kepedulian, kekeluargaan, keakraban, dengan sesama, lebih lagi sebagai sarana fastabiqul khairat.

Pohon ketujuh, i’tikaf. Melaksanakan i’tikaf 10 hari akhir Ramadhan. Inilah amalan sunnah muakkadah yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah saw. semasa hidupnya. Lebih dari 8 atau 9 kali beliau beri’tikaf di bulan suci ini, bahkan di tahun di mana beliau meninggal, beliau beri’tikaf 20 hari akhir Ramadhan. Beliau membangunkan istri-sitrinya, kerabatnya untuk menghidupkan malam-malam mulia dan mahal ini. (baca i’tikaf)

Pohon kedelapan, taharri lailatail qadar. Memburu lailatul qadar. Usia rata-rata umat Muhammad adalah 60 tahun, jika lebih, itu kira-kira bonus dari Allah swt. Namun usia yang relatif pendek itu bisa menyamai nilai dan makna usia umat-umat terdahulu yang bilangan umur mereka ratusan bahkan ribuan tahun. Bagaimana caranya? Ya, dengan cara memburu lailatul qadar, sebab orang yang meraih lailatul qadar dalam kondisi beribadah kepada Allah swt., berarti ia telah berbuat kebaikan sepanjang 1000 bulan atau 84 tahun 3 bulan penuh. Jika kita meraih lailatul qadar sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya, maka nilai usia dan ibadah kita bisa menyamai umat-umat terdahulu.

Rahasia inilah yang di yaumil akhir kelak, umat Muhammad saw. dibangkitan dari alam kubur terlebih dahulu, dihisab terlebih dahulu, dimasukkan ke surga terlebih dahulu, dan juga dimasukkan ke neraka terlebih dahulu, waliyadzu billah.

“Pada bulan ini ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang terhalang dari kebaikannya berarti ia telah benar-benar terhalang dari kebaikan.” (H.R. Ahmad)

Pohon kesembilan, umroh. Melaksanakan ibadah umroh dibulan suci Ramadhan, terutama 10 akhir Ramadhan. Sebab melaksanakan umroh di bulan suci ini seperti malaksanakan ibadah haji atau ibadah haji bersama Rasulullah saw.

“Umrah di bulan Ramadhan sebanding dengan haji.” Dalam riwayat yang lain: “Sebanding haji bersamaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pohon kesepuluh, menunaikan ZISWAF, yaitu mengeluarkan zakat, infaq, sedekah dan wakaf. ZISWAF adalah merupakan ibadah maaliyah ijtima’iyyah, ibadah yang terkait dengan harta dan berdampak pada manfaat sosial. Mengeluarkan ZISWAF tidak hanya bulan suci Ramadhan, kecuali zakat fitrah yang memang harus dikeluarkan sebelum shalat iedul fitri, sedangkan zakat-zakat yang lain, sedekah dan infaq dilakukan kapan saja dan di mana saja, namun karena bulan Ramadhan menjanjikan kebaikan berlipat, biasanya kesempatan ini tidak disia-siakan umat muslim, sehingga umat muslim berbondong-bondong menunjukkan kepeduliannya dengan berZISWAF. Tentu dilakukan dengan baik, benar dan tidak memakan korban. Lebih baik lagi jika disalurkan lewat Lembaga Amil Zakat yang memang mengelola dana-dana umat ini sepanjang hari, tidak hanya tahunan.

Berbicara tentang potensi ZISWAF di negeri ini sangatlah besar jumlah, setiap tahunnya potensi ZISWAF itu 19, 3 Trilyun Rupiah. Subhanallah, dana yang tidak sedikit yang jika bisa digali, diberdayakan, maka ekonomi umat Islam akan lebih baik.

Inilah 10 pohon Ramadhan, “Siapa menanamnya ia akan menuai”, biidznillah. Allahu a’lam

Kaya Dari Bisnis Property

Menjadi kaya raya adalah impian semua orang. Sifat Allah Ar-Rozzaq (Maha Memberi Rizqi), Al-Ghoniy (Maha Kaya) dan Al-Mughniy (Maha Pemberi Kekayaan) yang ditanamkan kepada manusia menjadikan manusia ingin menguasai kekayaan. Namun cara manusia mencapainya memiliki spektrum yang amat panjang. Mulai cara yang halal sampai yang menjurus kepada kesyirikan.
Pada zaman keemasan Islam (khoirul qurun), para sahabat Rasulullah SAW menguasai kekayaan dengan motivasi terbaik mereka, mengabdi kepada Allah. Dan tentu saja, rizqi yang mereka terima, hanya yang halal saja. Ciri mereka ada pada keteguhan dan kerja keras dalam berproduksi, namun sangat hemat dalam konsumsi. Inilah zuhud yang benar. Bukan dengan ber-miskin ria lalu melegitimasi kemalasannya dengan baju zuhud.

Sedikit dari Banyaknya Bukti Kekayaan Sahabat:

Kekayaan Umar bin Khattab ra
• Mewariskan 70.000 properti (ladang pertanian) seharga @ 160juta (total Rp 11,2 Triliun)
• Cash flow per bulan dari properti = 70.000 x 40 jt = 2,8 Triliun/ tahun atau 233 Miliar/bulan.
• Simpanan = hutang dalam bentuk cash

Kekayaan Utsman bin ‘Affan ra
• Simpanan uang = 151 ribu dinar plus seribu dirham
• Mewariskan properti sepanjang wilayah Aris dan Khaibar
• Beberapa sumur senilai 200 ribu dinar (Rp 240 M)

Kekayaan Zubair bin Awwam ra
• 50 ribu dinar
• 1000 ekor kuda perang
• 1000 orang budak

Kekayaan Amr bin Al-Ash ra
• 300 ribu dinar

Kekayaan Abdurrahman bin Auf ra
• Melebihi seluruh kekayaan sahabat!!
• Dalam satu kali duduk, pada masa Rasulullah SAW, Abdurrahman bin Auf berinfaq sebesar 64 Milyar (40 ribu dinar)

Bukan hanya sahabat utama yang kaya, namun juga rakyatnya hidup berkecukupan

Pada masa Umar bin Khattab ra (10 tahun bertugas),
• Mu’adz bin Jabal menuturkan di Yaman sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Al-Amwal, hal 596)
• Mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar atau +/- 18 juta/bulan (Ash-Shinnawi, 2006)

Pada masa Umar bin Abdul Azis ra (3 tahun bertugas)
• Yahya bin Sa’id (petugas zakat) berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Azis telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan”. (Ibnu Abdil Hakam, siroh Umar bin Abdul Azis, hal 59)
• Surat Gubernur Bashrah, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabbur dan sombong.” (Al-Amwal, hal 256)

Anda juga bisa kaya seperti mereka, karena sumber kekayaan kita -umat Islam- telah ada, hanya tinggal digali...

Dalam sejarah tercatat, Umar bin Khattab RA ketika wafat meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp 160 juta (perkiraan konversi ke dalam rupiah). Itu berarti, Umar meninggalkan warisan sebanyak Rp 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp 40 juta,

"Berarti Umar ra mendapatkan passive income sebanyak Rp 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan!".
(Fikih Ekonomi Umar ra, penerbit Khalifa, hal. 47 & 99, konversi pada saat harga dinar Rp 1,2 juta)

Subhanallah...

Umar ra dalam anjurannya untuk berproduksi, berkata: "Aku wajibkan kepada kalian tiga bepergian, yaitu: Haji dan umroh, Jihad dan usaha untuk mencari rizqi" (idem, hal 48).

Bahkan beliau juga berkata, "Tidaklah Allah menciptakan kematian yang aku meninggal dengannya setelah terbunuh dalam jihad yang lebih aku cintai daripada aku meninggal di antara kedua kaki untaku ketika berjalan di muka bumi, dalam mencari sebagian karunia Allah" (idem, hal 42)

Masih banyak atsar Umar ra yang lain, yang menganjurkan para sahabat untuk gemar berproduksi. Namun coba kita lihat betapa Umar ra menganggap dirinya bermewahan jika makan lebih dari dua lauk dalam satu hidangan... kehidupan konsumsi yang sangat kontras dengan produksinya.

Dengan prinsip kekayaan seperti inilah akhirnya para sahabat mampu mencetak para konglomerat muslim, seperti Abdurrahman bin 'Auf, Utsman bin Affan, Amru bin Ash, Muawiyyah dan sahabat yang lain yang telah meraih kekayaan sejatinya.

Lalu, dimana benang merahnya? dimana sumber kekayaan itu sebenarnya? bagaimana umat Islam masa kini bisa seperti mereka?

Benang merah yang bisa saya lihat pada mereka dan ilmu-ilmu kekayaan pada masa kini, ada pada penguasaan PROPERTI mereka. Ya, PROPERTI. Umar ra memiliki warisan 70.000 ladang pertanian, Ustman ra memiliki properti sepanjang wilayah Aris dan Khaibar, beberapa sumur produktif senilai 240 Miliar. Belum lagi sahabat yang lain. Mereka semua kaya dari properti...

Maka, kalau boleh saya sarankan kepada para pengusaha dan pekerja muslim, arahkan strategi Anda pada properti seperti para sahabat Rasulullah SAW itu. Bahkan Umar ra selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk konsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk dimakan.

Kenapa harus properti?

1. Karena sahabat kaya raya lewat properti
2. Karena Allah tidak ciptakan bumi yang kedua, sehingga harganya makin mahal
3. Karena harga properti naik terus dan tidak fluktuatif
4. Karena properti adalah investasi terbaik dan teraman
5. Karena properti memiliki dua keuntungan : Capital gain dan cash flow
6. Karena bumi ini harus diwarisi oleh kaum yang taat kepada Allah saja.

Bisnis berbasis properti adalah bisnis yang aman, insya Allah. Jika tidak berbasis properti akan mudah dihancurkan badai. Jadi jika Anda berbisnis, maka arahkan bisnis itu pada penguasaan properti. Jika Anda bekerja, maka sisihkan gaji Anda untuk membeli properti.

Pada masa kini, dengan perbankan syariah sebagai leverage terbaik dan halal, mampu membuat kita membeli properti dengan modal yang minim, bahkan tanpa modal sama sekali.
Sumber:(www.spiritualpreneurship.com)

;;